Malam itu ditengah
keramaian penyerahan piala untuk para pemenang dan juga sekaligus malam
penutupan acara tahunan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) tingkat kabupaten. Kegiatan
yang diprakarsai oleh K.H bashori alwi pada tahun 1968 menjadi jembatan
pertemuan kami dalam remang cahaya lampu yang menghiasi lapangan. Malam itu kau
begitu cantik / anggun dengan kerudung yang kau kenakan sempurna menutup
seluruh bagian tubuhmu,
“Hai, kamu Pia kan? Tanyaku pada gadis
berkerudung hitam itu.
“Iya kak. Maaf
kakak siapa ya?”
“Kenalin, aku Rusdi,
peserta pada cabang yang sama dengan kamu?
“Ooh kakak juga di
cabang Tilawah ya?
“Iya, tadi aku
sempat melihat kamu pada saat namamu disebut sebagai pemenang juara dua untuk
cabang tilawah tingkat remaja kategori Qariah.”
“Ooh iya. Salam kenal
kak, Nama kakak siapa tadi?”
“Panggil saja dewa.”
Kepada peserta dengan nomor 125 atas nama Nopia Tri
Rahayu diharap naik ke panggung untuk menerima piala”
”Kak, aku harus
segera ke panggung. Assalmualaikum”
“Waalaikusalam”
Dia kemudian
berlari kecil menuju panggung utama, saat itu aku juga mendapat juara dua. Namun
aku sudah terlanjur meminta kepada official kontingen untuk mewakiliku menerima
hadiah sehingga tidak bisa lagi bertemu dengannya di atas panggung. itulah kenangan tentang wanita 10 tahun silam yang kini tepat duduk di
depanku bersama dengan pria brengsek kusebut sebagai sahabat.
“Men pinjam kamar
dong.”
Aku masih
memperhatikan wanita ini, “sepertinya dia sama sekali tidak mengingatku, apakah
karena aku juga orang yang berbeda yang dikenalnya 10 tahun silam atau aku yang
salah orang.
“Woi bro pinjam
kamar dong.”
“Nama kamu Novia
tri rahayu ya, Dari Makassar?” Tanyaku pada gadis itu tanpa memperhatikan Madil
yang mulai kesal karena tak kuhiraukan.
“Bukan kak, Nama
saya Rapiani Amir, orang orang memanggilku Pia saya dari Manado, baru setahun
ada disini.”
“Alhamdulillah.” Aku
yang masih sedikit mabuk masih ingat untuk mengucap syukur karena dialah bukan
wanita yang kutemui sepuluh tahun silam.
Cukuplah aku yang
terjebak dalam lingkungan yang salah seperti ini, Ilmu tentang agama yang
kudapatkan saat di Tsanawiya dan Aliyah dulu seolah tak berkutik melawan
kerasnya pengaruh lingkungan.
“Bro pinjam kamar
dong, please!”
“Mau ngapain minjam
kamar?” pertanyaan retoris yang sebenarnya tak perlu kutunggu jawabannya.
“Ah ngertilah Men.” Sambil mengerlingkan
mata berharap aku mengerti. Kulihat wanita disampingnya sedang menikmati lagu
lewat headset. Kesempatan bagiku
untuk menceramahi Arfa tanpa membuat wanita ini tersinggung.
Aku mendekati Arfa
lalu memegang pundaknya kemudian mulai membiarkan kata kata mutiara dari
mulutku mengalun indah.
“Madil sahabatku,
engkau tahu dari semua anak bidosta akulah yang paling loyal pada teman, dan
aku jugalah yang paling royal. Tapi engkau juga tahu kan aku tak mentoleransi
siapapun untuk masalah seperti ini. Tak akan kubiarkan satu orangpun meski itu
adalah saudaraku untuk membawa seorang perempuan ke dalam kamarku.” Kau harus
sadar betapa besar dosa yang kutanggung karena membiarkan seorang perempuan dan
laki laki dalam kamarku tanpa aku tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana.”
“Please Men!”
“Nggak” kataku dengan nada tegas
“Ok bro sabar - sabar.” Dia mulai
menenangkan aku, Sepertinya dia aku sudah mulai emosi dan tentu saja tidak
ingin kejadian tiga tahun silam itu terulang kembali.
Cukup lama terdiam
“Oke Men, kalau
gitu aku ke kamarnya Dede aja sekalian aku juga mau ajak dia pulang, aku dapat
kabar dari kampung ibunya saat ini sedang sakit.” Dia melangkah menuju kamarnya Dede sambil menuntun tangan wanita yang bersamanya.
Bersambung
#Onedayonepost
#OdopBatch5
#Tantangan Cerbung
T_T Pasti ada alasannya kenapa Dewa jadi berubah kan?
BalasHapusApa iya hanya karena pengaruh lingkungan?
Hehehe seperti.y begitu mbak Nia.😁😁
Hapus